Monday, October 27, 2008

Jangan Tolak Cintaku

By : Karima Al Fathiyya

sekedar info nih cerpen pernah dimuat di majalah SAHABAt hehe ..

Karima sedang membereskan ruangan tempatnya mengajar. Ruangan yang penuh dengan gambar berwarna-warni khas anak TK itu terlihat sedikit berantakan. Anak-anak TK yang diajarnya tadi sudah pulang lebih dulu. Sekolah TK itu kelihatan lebih sepi karena para guru dan juga kelas yang lain sudah pulang 5 menit yang lalu. Hanya tinggal seorang satpam dan tukang kebun.

“Assalamu’alaikum …”

Karima menoleh.

“Waalaikumsalam warahmatullah …”

Betapa terkejutnya Karima ketika mendapati siapa orang yang kini sedang berdiri di hadapannya dan mengucapkan salam padanya.

Panji ?

Sesaat keduanya terpaku dalam keheningan.

“Apa kabar ?” tanya lelaki berkacamata minus itu sedikit kaku.

Karima tersenyum tipis.

“Alhamdulillah baik. “

Suasana kembali hening. Dan kaku.

Ah … aku tak suka dengan suasana seperti ini. Kumohon, Panji … pergilah.

“Bolehkah aku berbicara sebentar denganmu?” tanya lelaki bernama Panji itu.

Karima menghela napasnya pelan.

Kenapa kau harus datang lagi?

***

Sudah hampir dua bulan Karima menganggur, tanpa pekerjaan tetap. Gelar SE (Sarjana Ekonomi) yang disandangnya pasca wisuda dua bulan yang lalu ternyata belum mampu memberikannya pekerjaan. Beberapa perusahaan besar dan kecil dimasukinya surat lamaran tetapi tak satupun yang menerimanya bekerja disana. Sebagian besar menyatakan keberatan karena jilbabnya terlalu lebar dan panjang. Terkadang Karima tak habis pikir, apa yang salah dengan jilbab lebarnya? Apa hubungannya jilbab dengan pembukuan dan administrasi perusahaan? Salahkah jika seorang muslimah hendak menegakkan kewajiban agamanya? Entahlah, mungkin mereka risih melihat jilbab lebar milik Karima. Tapi Karima tetaplah Karima, gadis cantik yang tak pernah menyerah dengan keadaan apapun. Dirinya sudah tertempa begitu kuatnya, apalagi sejak ayahnya meninggal ketika Karima masih berumur 15 tahun. Kalau tidak ingat akan tanggungan hidup ibu dan ketiga adiknya, Karima tentu tak mau menerima pekerjaannya yang sekarang.

Hari ini adalah hari pertama Karima bekerja di rumah keluarga Hermawan Kuncoroningrat, salah satu keluarga terkaya di kotanya. Karima diterima bekerja di keluarga itu menjadi asisten pribadi putra tunggal keluarga itu.

Karima sedang berhadapan dengan sang pemilik rumah, Nyonya Hermawan.

“Jadi tugasmu nanti hanya khusus melayani dan menyediakan segala keperluan putraku saja. Untuk urusan memasak dan yang lainnya, biar pembantu yang lain yang mengurusnya.”

Karima mengangguk pelan.

“Mulai hari ini kamu bisa bekerja. Ingat, tugasmu hanya melayani putra tunggalku saja. Dan semoga kamu betah disini, Nak Rima.”

Karima tersenyum.

Tiba-tiba seorang lelaki muda dengan penampilan yang sedikit berantakan datang dan tanpa mengucap sepatah kata pun, lelaki itu menaiki anak tangga menuju kamarnya. Namun langkahnya terhenti ketika Nyonya Hermawan memanggilnya.

“Panji !”

Lelaki muda yang ternyata bernama Panji itu berhenti.

“Ada apa sih, Ma?” tanya lelaki itu dengan santainya.

“Sini sebentar !”

Inikah Tuan Muda itu?

Panji turun dan menghampiri Mamanya.

“Panji, kenalkan ini Karima. Nanti dia yang akan mengurusi segala keperluanmu. Dan Karima, ini Panji, anak Ibu satu-satunya yang tadi Ibu ceritakan.”

“Ma, ngapain sih pakai baby sitter segala? Kayak anak bayi aja!” Panji protes.

Baby sitter? Aku? Siapa yang mau jadi baby sitter …?

Karima terdiam di tempat duduknya. Kepalanya sedikit menunduk.

“Dia bukan baby sitter, Panji. Dia adalah asisten pribadimu. Bedakan itu !”

“Terserah lah, Ma.” ucap Panji seraya meninggalkan Mamanya dan Karima.

Nyonya Hermawan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak kesayangannya itu.

“Rima, kamu harus sabar ya menghadapi Panji. Dia memang seperti itu. Dia ... bla ... bla ...” Nyonya Hermawan tampak begitu bersemangat menceritakan putra tersayangnya itu.

Karima tersenyum tipis.

Ya … mungkin benar katamu, Tuan Muda. Aku akan menjadi baby sitter ... paling repot di dunia. Karena aku harus menghadapi bayi sepertimu …

Karima mendesah pelan.

***

Tok! Tok! Tok!

Panji membuka pintu kamarnya. Tampak seorang gadis berjilbab lebar berdiri di hadapannya sambil membawa sebuah nampan berisi segelas susu putih dan sepiring nasi goreng dengan sedikit taburan bawang goreng di atasnya.

“Ngapain sih pagi-pagi udah gangguin orang?”

Karima sedikit kaget mendengar omelan Panji.

“Maaf , Mas Panji saya hanya mau mengantarkan sarapan pagi.” ucapnya seraya menunduk.

Panji mengambil nampan itu dan membawanya ke dalam kamar. Kemudian pintu kamar langsung ditutupnya. Dan Karima hanya mampu mengelus dada melihat sikap dingin Tuan Muda-nya itu.

Ketika Karima hendak membalikkan badannya, Panji membuka pintu kamarnya kembali dan memanggilnya.

“Hey, lain kali makananku nggak perlu dianter. Aku bisa turun ke bawah.”

Brakk!!!

Karima kaget ketika Panji menutup pintu kamarnya dengan kasar.

Maunya gimana sih? Bukannya yang menyuruhku untuk membawa makananmu ke kamar adalah kamu sendiri?

Karima mendesah pelan.

Allohu Rabbi ... beri hamba kekuatan ...

Sudah hampir seminggu lebih Karima bekerja di rumah besar berarsitektur megah itu. Karima berusaha melayani majikan muda-nya itu dengan sebaik-baiknya karena bagaimana pun juga Karima tetaplah pegawai di keluarga itu. Terkadang Karima merasa jenuh dan ingin keluar dari pekerjaan itu. Tetapi jika mengingat ibu dan ketiga adiknya di rumah, Karima mengurungkan niatnya. Karima sadar bahwa dia lah yang butuh pekerjaan itu. Meskipun kadang dia harus menerima perlakuan dingin dari Tuan Muda-nya itu. Seperti pagi ini, Panji sepertinya tidak suka ketika Karima mengantar sarapan paginya ke kamar. Padahal Panji yang memintanya sendiri beberapa hari yang lalu, tapi sekarang malah menyuruhnya untuk tidak mengantar sarapan paginya ke kamarnya.

***

Panji sedang menikmati segarnya udara pagi di balkon rumahnya. Jam dinding di kamarnya masih menunjukkan pukul 04.30 WIB. Sehabis shalat subuh, Panji memulai aktivitas barunya yaitu menghirup udara segar di balkon rumahnya. Secara perlahan Panji memang mulai terbiasa bangun pagi. Biasanya dia selalu bangun kesiangan hingga tak jarang shalat subuhnya pun bolong-bolong. Tapi semenjak Karima bekerja di rumahnya, Panji terlihat lebih rajin. Shalatnya tak lagi bolong-bolong bahkan perlahan sikap dinginnya mulai berubah. Lelaki muda yang kini sedang menempuh studi S1-nya di salah satu perguruan tinggi di Surakarta itu, mulai terbiasa dengan kehadiran Karima sebagai asisten pribadinya.

Panji menuruni anak tangga pelan-pelan. Dilangkahkan kakinya menuju dapur dan membuka lemari es. Kemudian diteguknya segelas air minum dingin yang diambil dari lemari es yang ada di dapur. Ketika hendak menuju taman yang ada di belakang rumah megah itu, kakinya terhenti sejenak karena mendengar suara bening melantunkan ayat-ayat Allah dari kamar Karima. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Ditengoknya sekilas kamar asisten pribadinya itu. Tampak Karima sedang tilawah dengan masih mengenakan mukena putihnya. Karima tak sadar kalau ada seorang lelaki yang sedang memperhatikannya.

Gadis itu sangat berbeda dengan gadis lainnya yang pernah kukenal. Penampilannya yang aneh, jilbab panjang, kaos kaki, baju yang tertutup rapat, cara salaman yang berbeda … Setiap hari selalu bangun lebih awal. Shalat dan mengaji ... tetapi selalu diam jika kumarahi.

Untuk beberapa detik lamanya, mata Panji tak lepas dari sosok Karima yang sedang mengaji.

Apa aku terlalu jahat ya sudah memarahinya setiap hari? Padahal sebenarnya dia nggak salah … emm .. sebenarnya dia juga cantik sih … ah kenapa aku jadi melankolis seperti ini ??

Panji mendesah pelan.

***

“Rima!”

Panji melemparkan tas punggungnya ke atas tempat tidurnya.

“Rima!”

Karena merasa tak ada sahutan, Panji turun ke bawah. Di ruang makan, tampak Mama-nya sedang menikmati makan siangnya. Panji langsung mengambil tempat duduknya dan menyantap makanan yang ada di hadapannya.

“Rima kemana, Ma?”

“Pulang.” Jawab Mama-nya singkat.

Panji terkaget-kaget mendengar jawaban dari Mama-nya.

“Kemana, Ma? Kok nggak bilang-bilang ke aku? Nggak ijin lagi!” tanyanya seraya mengambil sepotong sosis ayam kesukaannya.

Wanita berumur hampir 45 tahun itu tersenyum.

“Satu-satu dong kalau tanya. Panji, Rima pulang ke rumahnya karena Ibu-nya sakit. Jadi tadi dia minta ijin sama Mama untuk berada di rumah selama seminggu.”

Seminggu?

Panji tersedak. Segera diteguknya segelas air putih yang ada di samping kanannya.

“Kamu kenapa? Makanya kalau nelan makanan itu hati-hati.”

Panji meringis.

Kenapa tiba-tiba aku merasa kehilangan … ?

***

Panji sedang rebahan di atas tempat tidurnya. Matanya menerawang langit-langit di kamarnya. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.

Hhh …

Kenapa aku ini? Kenapa aku kepikiran terus dengan gadis itu? Apa istimewanya sih dia sampai-sampai bayangannya seakan mengikutiku kemanapun aku melangkah. Oh My God … aku bisa gila kalau begini terus!

Panji membuka laci meja yang ada di samping kanan tempat tidurnya. Diambilnya sebuah bingkai kecil berwarna hitam polos. Ada foto seseorang disana. Seorang gadis manis dengan jilbab putih bermotif bunga tulip warna hitam.

Inikah yang namanya cinta? Hatiku bergetar kala menatap bola matanya yang indah, tanganku selalu basah oleh keringat kala berdekatan dengannya. Sosoknya terlalu lekat di mataku. Oh Tuhan … sampai kapan aku harus begini …

Perlahan sorot matanya mulai meredup.

Dan akhirnya terbang bersama mimpi indahnya.

***


bersambuuuuungggggggg ..................................

Binar Mata Sandra, episode 2

afwaan lama yah ... hehe ..

Brugg!!!

Tiba-tiba tubuh kurus itu jatuh terkulai di koridor gedung kuliah. Beberapa akhwat yang melihat gadis itu pingsan, dengan sigap langsung menggotongnya ke tepi.

”Masya Allah, Sandra! Kenapa ... ?” ucap Indy cemas.

Terlihat beberapa ikhwan, yang kebetulan berada di situ, bingung harus berbuat apa. Karena yang harus ditolong adalah seorang akhwat. Wajah Sandra terlihat sangat pucat dan darah terus mengalir dari hidungnya. Sandra masih belum sadar.

”Kenapa kalian diam saja! Cepat panggil taksi atau apapun untuk membawanya ke rumah sakit!!”

Ucapan Indy yang cukup keras segera menyadarkan para ikhwan untuk segera bertindak. Dengan sigap salah seorang ikhwan berlari keluar memanggil taksi. Di tengah kepanikan akhwat-akhwat itu, Sandra tersadar dari pingsannya.

Sandra berusaha mengambil posisi duduk. Disandarkannya tubuhnya yang lemah. Sandar terlihat sangat kesakitan.

”Aku nggak apa-apa. Kita nggak perlu ke rumah sakit ... ” ucap Sandra seraya menghapus darah yang keluar dari hidungnya.

”Sandra, kamu sakit. Lihat hidungmu, berdarah! Kamu ...”

Akhwat lain berusaha membujuk Sandra agar mau dibawa ke rumah sakit. Tapi Sandra bersikukuh untuk pulang saja. Akhirnya akhwat-akhwat itu mengalah dan Sandra pun pulang dengan diantar Indy.

Aku masih ingin hidup ... ya Allah ...

***

Di sebuah ruangan di rumah sakit ...

”Gimana akh? Sudah lebih baik?” tanya Sandra.

Bayu tersenyum.

”Alhamdulillah, Ukhti sekarang saya merasa lebih baik. Allah sungguh masih sangat menyayangi saya. Saya masih bisa menikmati hidup hingga kini.”

Hidup ... masihkah milikku? tanya Sandra dalam hati.

”Saya selalu ingat kata-kata anti. Bukankah bila Allah mencintai seorang hamba, maka diberilah hamba itu ujian. Dan mungkin inilah salah satu cara Allah mencintai saya. Inilah karunia terbaik dari Allah untuk saya. Walaupun sekarang saya tidak bisa melihat warna pelangi. Karena ... sekarang yang bisa saya lihat hanya hitam .. hitam ... dan hitam.” ada sesungging senyum ketika Bayu mengakhiri ucapannya.

Sandra ikut tersenyum. Tapi kali ini terasa pahit. Dan getir.

Ya Allah, dia benar, Engkau memberiku rasa sakit ini karena ... Engkau mencintaiku. Subhanallah, sekarang dia lebih terlihat dewasa dan ... bijak! Seharusnya aku bisa belajar dari ikhwan itu.

***

Suatu sore ...

Indy sedang menunggu seseorang di tepi sebuah pantai. Sesekali Indy melihat ke arah jam tangannya. Wajahnya terlihat gelisah.

Dimana kamu, Sandra?

Sejak menjenguk Bayu di rumah sakit, seakan-akan Sandra hilang ditelan bumi. Banyak yang menanyakan kabar gadis itu sejak kejadian pingsannya tempo hari. Bahkan Indy, seseorang yang paling dekat dengan Sandra, tak tahu keadaan sahabat dekatnya itu. Indy sudah berusaha menghubungi handphone Sandra, tapi setiap Indy mencoba meneleponnya tak pernah diangkat oleh Sandra. Sandra pun tidak ada di kost-nya. Sandra benar-benar menghilang dari kehidupan kampus.

Dan sekarang Indy benar-benar dibuat bingung oleh sikap Sandra. Sandra menyuruhnya datang ke pantai tempat mereka biasa bertemu. Tapi sudah setengah jam lebih, Sandra tak juga datang.

Tiba-tiba ...

Kedua gadis itu sudah berpelukan dan berlinangan airmata. Indy menatap wajah sahabat dekatnya itu seakan hendak memuaskan kerinduannya. Digenggamnya tangan milik sahabatnya itu dengan erat. Terasa dingin.

”Ndy, mau dengerin aku?”

Indy tersenyum dan mengangguk.

Sandra pun menceritakan segala kisahnya, tentang penyakitnya dan hidupnya yang seolah hampir mati. Tentang menghilangnya Sandra dari kehidupan kampus. Tentang waktu yang tersisa dalam hidupnya.

Airmata Indy semakin deras mengalir.

”Ndy, nggak usah nangis ... Semua sudah digariskan oleh Allah. Inilah yang terbaik buatku. Lihat, aku masih diberi kekuatan untuk bertemu denganmu hingga kini ...” ucap Sandra seraya tersenyum.

Indy memeluk tubuh Sandra yang terlihat semakin kurus saja.

Ya Rabb ... betapa tubuh ini semakin kurus saja. Wajahnya yang dulu selalu berseri-seri, kini terlihat semakin pucat. Tapi ... Subhanallah, senyum tak penah lepas dari bibir manisnya. Wajahnya bagai tak merasakan derita, karena yang kulihat kini adalah sebuah wajah penuh ketegaran. Ya Allah ... betapa aku selama ini tak pernah mencoba memahami dirinya, memperhatikan kondisinya, meninggalkannya sendiri. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Sahabat macam apa aku ini?! Aku tidak akan membiarkannya sendiri lagi ...

”Aku akan menikah, Ndy.” ucap Sandra lirih.

Indy melepaskan pelukannya. Indy benar-benar terkejut. Dipandanginya wajah tirus sahabatnya itu. Dan Indy melihat ada sebuah binar di mata bening milik Sandra.

***

Keluarga besar dan sahabat-sahabat dekatnya berucap syukur ketika lelaki tampan itu selesai mengikrarkan janjinya untuk seorang wanita cantik berkerudung putih. Dan lelaki itu pun tersenyum bahagia.

Polesan tipis di wajah wanita cantik itu hampir menghilang tapi wajah cantiknya tak pernah lepas menyunggingkan senyum ke semua orang yang hadir. Sedang lelaki tampan itu sesekali mencuri pandang ke arah wanita cantik yang kini telah menjadi istrinya.

Duhai Allah ... Maha Besar Engkau yang telah mengirim seorang Sandra, bidadari bermata jeli kepadaku ... batin lelaki itu berucap syukur.

***

”Sandra menikah?” tanya Bayu.

Siang itu Dodi dan Fendi datang menjenguk Bayu. Sudah hampir sebulan sejak kepulangan Bayu dari rumah sakit, mereka berdua sering berkunjung ke rumah Bayu. Bayu memang sudah sembuh walaupun tidak bisa melihat lagi. Bahkan Bayu sudah mulai aktif di kampus lagi. Hanya saja dia masih kesulitan untuk beradaptasi dengan ”dunia baru”nya. Dan ikhwan-ikhwan di LKI pun terus menyemangatinya. Hal itulah yang mampu membuat Bayu bertahan. Dan hari ini, Dodi dan Fendi datang ke rumahnya dengan membawa kabar bahwa Sandra, sekbidnya, telah menikah.

Dan Bayu hanya mampu berucap syukur.

***

Suatu sore di sebuah rumah sakit ...

Lelaki tampan itu duduk dengan perasaan gelisah. Matanya terlihat berkaca-kaca. Otaknya memutar kembali slide-slide kecil yang penuh kenangan.

Ya Allah ... selamatkan bidadariku. Jangan biarkan ia pergi. Aku masih ingin bersamanya ... Ijinkan aku mengucapkan cinta padanya ... Kumohon ...

Ircham, lelaki tampan itu, sedang menunggui Sandra, sang istri tercinta, yang kini tengah terbaring lemah di rumah sakit. Tadi pagi ketika hendak berangkat kuliah, tiba-tiba Sandra terjatuh dan langsung tak sadarkan diri bahkan hidungnya berdarah. Ircham langsung membawanya ke rumah sakit. Sudah seharian ini, dia menunggu tapi Sandra tak juga sadar dari pingsannya.

Baru seminggu mereka menikah. Baru seminggu ini kontrakan mungil dan sederhana itu mereka tempati. Mereka terlihat benar-benar bahagia. Bagi Ircham, Sandra bagaikan bidadari bermata jeli layaknya Bunda Khadijah. Meski sejak awal Ircham sudah tahu tentang penyakit Sandra tapi melihat Sandra terlihat bahagia, Ircham pun tak terlalu risau. Tapi kali ini, dia merasa bahwa Sandra akan meninggalkannya. Diingatnya lagi masa-masa bahagianya dengan Sandra.

Di suatu pagi, mereka sedang duduk berhadapan. Sandra terlihat cemas. Ini masakannya yang pertama. Tapi Ircham makan dengan tenang.

”Mas?” hati-hati Sandra bertanya.

Tak ada reaksi.

”Boleh nambah?” tanyanya seraya melirik Sandra yang masih terlihat cemas.

Nambah? Berarti masakanku ... enak? batin Sandra.

”Mas Ircham ! Bikin jantungan aja!” protes Sandra seraya mencubit pinggang suaminya tercinta.

Ircham tertawa melihat muka Sandra yang merah padam karena Ircham menggodanya.

Setiap hari yang terlihat di rumah kecil itu adalah keceriaan wajah Sandra, juga gurauan-gurauan kecilnya. Terkadang Sandra terlihat seperti anak kecil yang manja yang membuat Ircham hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah lucu Sandra. Tapi kadang juga bagaikan wanita dewasa yang menyenangkan baginya layaknya seorang ibu.

Dan kini wajah yang selalu bersinar bagai rembulan itu terdiam dalam tidur panjangnya.

Ah ... Sandra ... aku masih ingin merangkai cinta-Nya bersamamu ...

***

Sandra membuka matanya. Begitu banyak selang infus melilit tubuhnya. Di tepi ranjang, Ircham tertidur lelap memeluk mushaf kecil.

Ya Allah ... jika Engkau berkehendak aku tetap tinggal bersamanya, ijinkan aku membahagiakannya. Aku ingin melihatnya tertawa ... sekali lagi ya Rabb.

Air matanya mengalir perlahan.

Tiba-tiba ...

Ircham terbangun. Senyum mengembang dari bibirnya begitu melihat Sandra sudah sadar. Ircham hendak memanggil dokter. Tapi ...

Sandra memegang tangannya. Menyuruhnya untuk tetap disampingnya. Ircham mencium tangan istrinya. Matanya terlihat berkaca-kaca.

”Aku mungkin tak bisa mendampingimu lagi. Tak bisa memasak lagi untukmu. Tak bisa mencucikan lagi pakaianmu. Tak bisa lagi menjadi jamaahmu dalam tahajud kita ... Tapi berjanjilah untuk tetap hidup ... demi cinta-Nya yang akan kita rangkai bersama.”

Butiran bening mengalir dari mata Ircham. Pertahanannya jebol. Ircham menangis di depan istrinya yang terkulai lemah.

”Mas Ircham kok menangis ... Seharusnya kita bersyukur pada Allah, Mas. Bukankah ini cara Allah mencintaiku?!”

Ircham mencium punggung tangan isterinya itu dengan lembut.

”Kau ingin mengucapkan sesuatu untukku, Mas?”

Ircham menggenggam erat tangan istrinya itu. Dipandanginya wajah cantik istrinya.

Bidadariku ... aku ingin kau tetap disini, bersamaku. Maukah engkau?

”Sandra ... aku sungguh sangat mencintaimu ...” seketika ada kelegaan yang terbersit di hatinya.

Sandra tersenyum bahagia.

Kata-kata itulah yang selalu kutunggu selama ini, Mas. Akhirnya ...

”Mas, tersenyumlah untukku.” suara Sandar terlihat bergetar.

Ircham pun tersenyum.

Ya Rabb ... aku takkan bisa menemui senyum seperti ini lagi ...

”Mas, maukah engkau mengabulkan permintaanku?”

***

Gundukan tanah merah itu masih basah. Satu persatu orang yang takziah mulai beranjak pergi hingga tinggal dua orang yang masih setia berdiri di tepi nisan yang masih baru itu. Ircham dan Bayu.

Sandra Eliza Haris

binti Haris Setyawan

Lahir 18-10-1986

Meninggal 19-04-2006

Kemudian Ircham beranjak pergi meninggalkan pemakaman itu. Kini tinggal Bayu sendiri. Dipandanginya nisan itu. Hatinya remuk.

Ya Rabb, terima kasih. Lewat mata Sandra, Engkau membuatku bisa melihat warna pelangi yang pernah padam sesaat di hatiku. Berilah dia tempat yang baik di sisi-Mu ya Rabb ...

Hujan rintik-rintik mulai membasahi tanah merah itu.

Dan lelaki itu menangis.

***

Di satu sisi yang lain ...

Surakarta, 18 April 2006

Untuk kekasihku,

Ircham Pramudya

Assalamu’alaikum ...

Mas Ircham, maafkan aku yang tak bisa lagi mendampingimu, tak bisa lagi mengisi hari-hari indahmu (semoga penggantiku kelak lebih baik). Maafkan, jika selama ini, aku tak bisa membuatmu bahagia. Jika saja Allah berkehendak, aku ingin sekali tinggal lebih lama bersamamu, di sampingmu. Seperti keinginanmu, kita akan merangkai cinta-Nya bersama. Tapi Allah lebih tahu yang terbaik buatku, buat kita. Kita harus bersyukur, Mas.

Mas, tetaplah hidup ... demi cinta-Nya yang dulu pernah kita rangkai .. walau hanya sesaat.

Aku juga mencintaimu, Mas.

Wassalamu’alaikum ...

Cintamu,

Sandra

Matanya sudah basah oleh air mata.

Sandra, aku masih tetap ingin mencintaimu. Tak ada yang bisa menggantikanmu. Ijinkan aku tetap memiliki rasa ini. Maafkan aku …