Wednesday, August 10, 2011

belajar dari si pemulung sampah sungai

Sedang ingin melatih jemari tangan untuk lebih banyak lagi menuliskan sebuah keajaiban.

Beberapa waktu yang lalu, seinget saya puasa hari pertama. Nggak sengaja nonton acara di Trans TV. Spot acaranya kalau nggak salah Bukan Puasa Biasa, yang disana mengulas kehidupan seorang pemulung sampah sungai. Namanya Pak Agus. Tinggal di Jakarta berdua dengan sang isteri, di pinggiran rel kereta. Sehari-hari bekerja sebagai pemulung sampah sungai.

Di acara tersebut diperlihatkan bagaimana Pak Agus menekuni pekerjaannya sehari-hari. Dengan baju lusuh dan sebuah topi usang, Pak Agus memulung sampah di sungai. Pelan-pelan langkahnya menyusuri sungai yang tingginya hampir se-leher Pak Agus. Sampai-sampai jenggot panjang yang memenuhi dagunya ikut basah oleh air sungai. Sampah sungai yang menggunung itu di bawanya pulang. Dipilahnya sampah-sampah itu. Ada beberapa baju yang sudah bercampur lumpur sungai dan sebuah boneka monyet yang basah pula oleh air sungai dan berwarna kusam, diberikannya pada sang isteri untuk dibersihkan kembali.

Sang isteri menerimanya dengan senang hati, lalu mencuci baju-baju itu dan boneka monyet tadi hingga bersih.

Tahukah anda, apa yang dikatakan oleh Pak Agus mengenai baju-baju yang dipungutnya di sungai itu?

“Mereka bilang, wong itu baju bekas orang mati kok dipungut? Sudah jelek, dibuang kesungai lagi. Saya bilang ya ndak apa-apa, orang matinya kan nggak hidup lagi.” ucap Pak Agus sambil tertawa kecil.

Ya, di gubuk kecil Pak Agus ada hampir satu koper baju-baju yang sudah bersih dan rapi yang dipungutnya dari sungai tempat ia memulung. Pak Agus dan isterinya akan membawa pulang untuk oleh-oleh keluarganya nanti di kampung.

Melihat semua itu, tak terasa air mata saya merajuk keluar.

Sungguh, rasanya ada yang menyayat bathin saya ketika melihat pak Agus memunguti baju-baju yang sudah selayaknya dibuang untuk dipakai kembali. Bayangkan, baju-baju itu sudah lusuh dan bercampur dengan lumpur. Bercampur pula dengan sampah-sampah sungai. Dan kotor.

Innalillahi …

Saya hanya menertawakan diri saya sendiri. Sungguh, saya tak ada apa-apanya dibanding dengan Pak Agus, si pemulung sampah sungai. Harus bermandikan air sungai yang kotor demi rupiah yang harus diberikannya untuk keluarga. Bahkan baju-baju yang dikenakannya selama ini adalah baju yang telah dibuang ke sungai karena sudah tak layak dipakai atau lebih tepatnya disebut sampah. Tapi Pak Agus begitu “bahagia” melakukannya. Karena hanya itu yang bisa dilakukannya. Itulah yang disebut Pak Agus sebagai bagian dari ikhtiarnya hidup di dunia. Dan tak lupa mengiringinya dengan sujud-sujud panjang di tiap shalatnya. Subhanalloh!

Ternyata, saya masih belum setangguh yang saya kira. Saya malu. Malu pada diri saya sendiri. Belum mampu berbuat lebih banyak.

Terlalu banyak yang belum saya lakukan.

Jemari saya pun terhenti disini, untuk kembali menghitung kealpaan diri.

Faghfirli ya Rabbi …


Hari kesepuluh Ramadhan, semoga Engkau berikan desempatan padaku untuk memperbaiki diri.

Lebih banyak lagi ……

No comments:

Post a Comment

berkomentarlah yang baik dan sopan, terima kasih.