Wednesday, September 10, 2008

Banci Oh Banci

10 September 2008

Beberapa hari yang lalu, saat dalam perjalanan dari Purworejo menuju kota Solo naik Supravit Merah. Kala itu saya sedang berhenti di lampu merah di Jogja (lewat dalam kota, saya kurang tahu nama jalannya, dekat SMA BOPKRI Joga). Di pinggir jalan ada dua banci (saya menyebutnya banci saja), yang satu memakai baju ala penyanyi band “Duo Maia” dan yang satunya memakai kebaya biasa lengkap dengan kerudungnya. Biasanya saya sering lihat salah satunya memang suka mangkal di lampu merah jalan itu. Saya cuma bengong aja melihatnya. Sebenarnya bukan pemandangan aneh, tapi saya geli campur kasihan aja melihatnya. Geli melihat dandanan aneh gitu, tapi kasihan melihat mereka yang belum bisa bersyukur atas pemberian Alloh. Wawallahu’alam.

Sebenarnya nggak cuma di jalan itu, di lampu merah yang lain saya kerap melihat pemandangan yang sama meski berbeda pelakunya. Kadang saya berpikir, apa mereka (yang jadi banci) bisa tenang menjalani hidupnya sebagai seorang banci? Gimana sholat mereka, pakai mukena atau cuma sarung? Hehe … yah, meskipun saya tidak bisa men-generalisir bahwa mereka semua dengan “senang hati” hidup sebagai seorang banci. Mungkin ada beberapa yang terpaksa karena nggak punya penghidupan lain selain hidup sebagai banci. Ada juga yang karena terlalu akrab dengan lingkungan banci hingga membuatnya memutuskan merubah “pemberian” Yang Di Atas. Meski ada juga yang memang merasa fitrahnya 99 % adalah wanita (1 % masih ada ke-lelaki-annya hehe ..).

Yah, terlepas dari semua alasan mereka-mereka yang mulai menjalani hidup sebagai seorang banci, sudah seharusnya lah kita sebagai seorang manusia yang beriman menyadari bahwa apa yang diberikan oleh Alloh kepada kita adalah hal terbaik, dan sudah sewajarnya kita bersyukur dengan belajar menerima diri kita apa-adanya.

Alhamdulillah, beberapa waktu yang lalu ada tayangan berita yang menyatakan bahwa KPI (Komisi Penyiaran Indonesia, kalau nggak salah singkatannya begitu) melarang penayangan sosok banci di beberapa stasiun TV. Harus diakui, hampir 2 tahun ini sosok “banci” adalah sosok “terlaris” di TV. Bagaimana tidak? Hampir seluruh stasiun TV menayangkan program yang menonjolkan sosok banci yang biasanya bersifat komedi. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai “ikon” dunia entertainment. Sampai-sampai ada yang tadinya mau berubah menjadi lelaki sejati, kalau anda mencermati salah satu tayangan TV, sekarang malah menjadi banci seutuhnya karena tuntutan program penayangan di salah satu stasiun TV. Saya malah berasa muak melihatnya. Di lain sosok, ada yang mempunyai penghasilan hingga berjut-jut dan menjadi popular karena sosok ke-banci-annya. Hiiyyy!!! Bahkan ada yang dulunya sama sekali jauh dari image “banci”, eh sekarang malah sangat menikmati peran banci. Dunia sudah benar-benar terbalik. Coba lihat salah satu program sinetron di satu stasiun TV swasta yang ditayangkan malam hari (jam efektif belajar anak-anak) yang aktor utamanya adalah anak lelaki tapi masih balita (usianya sekitar 3-4 tahun). Penampilan anak tersebut memang sangat lucu dan menggemaskan tapi cerdas alias banyak akal. Tapi sangat disayangkan, di tayangan tersebut seringkali menampilkan anak kecil tersebut dengan dandanan wanita, mulai dengan memakai wig wanita hingga memakai kerudung. Secara tidak langsung, hal tersebut bisa saja kelak mempengaruhi psikis anak lelaki yang notabene masih sangat kecil untuk menjadi ”seorang banci”. Anak sekecil itu saja sudah ”dilatih” menjadi seorang banci, tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya saat ia dewasa? Akankah hal itu terbawa hingga dewasa nanti?

Saya sih setuju banget kalau KPI melarang penayangan sosok banci. Karena harus diakui, efek sosok banci di TV bisa sangat mempengaruhi penonton TV. Apalagi anak-anak kecil yang notabene bisa sangat mudah meniru apa yang mereka lihat. Masih ingat demam sekaligus tragedi ”Smackdown” yang menimpa anak-anak SD hingga menyebabkan kematian? Tragis sekali bukan?! Jangan sampai terulang lagi kejadian serupa dimana anak-anak kecil (lelaki) harus menjadi ”korban” dari tayangan TV yang tidak mendidik seperti ”penonjolan sosok banci”. Bisa dibayangkan jika kemudian jumlah lelaki yang berubah menjadi banci atau bertingkah kebanci-bancian bertambah dari hari ke hari. Karena kita bukan negara ”banci” !

Fitrahnya anak kecil itu memang suka meniru apa yang mereka lihat, apalagi jika menurut mereka itu dianggap menyenangkan. Apalagi program TV yang menayangkan sosok banci adalah saat jam-jam anak bisa menonton TV dengan leluasa. Penonjolan sosok banci yang lucu dianggap sangat menarik bagi anak-anak sehingga dengan mudah mereka ”mengaplikasikan” dalam kehidupan sehari-harinya seperti kala bermain dengan teman-temannya. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena bisa saja hal tersebut akan terus terbawa dalam masa tumbuh-kembang mereka kelak. Secara psikis akan mempengaruhi tingkah laku mereka saat dewasa nanti karena saat masih kecil sudah mulai terbentuk frame berpikir tentang sosok banci.

Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika penonjolan sosok banci tidak terlalu berlebih-lebihan (lebih baik lagi dihapus saja) dan diganti dengan tayangan yang lebih mendidik. Karena penayangan program-program TV yang menonjolkan sosok ke-banci-banci-an, menurut saya, adalah program yang sangat tidak mendidik. Bagaimana bangsa ini bisa sukses atau maju jika tayangan-tayangannya adalah semacam itu? Apalagi terkhusus untuk para ”lakon-lakon” banci, apakah tidak berpikir bahwa tingkah yang kebanci-banci-an bisa menimbulkan efek yang kurang baik terhadap penonton (khususnya anak-anak kecil)?

Yang lebih penting adalah bahwa seharusnya kita bisa bersyukur dan menerima fitrah kita, baik sebagai seorang lelaki ataupun wanita. Lelaki adalah lelaki, dan wanita adalah wanita. Alloh telah menciptakan sedemikian rupa, maka kita harus menjaganya dengan tidak merubah ”sesuatu” yang memang seharusnya tak boleh dirubah. Wawallahu’alam bishowab.


No comments:

Post a Comment

berkomentarlah yang baik dan sopan, terima kasih.