Friday, February 18, 2011

Kepengecutan Media

Tadi pagi nggak sengaja lihat tayangan rutin si tivi OON dan ngakak-ngakak abis. Sumpah, lucu banget! Mungkin ada yang nonton juga?

Kebetulan itu tivi lagi ngebahas insiden Cikeusik. Seperti biasa, anchor/ presenternya bakalan habis-habisan membela kebathilanlebai. Memang ini tivi berusaha mengekspose kejanggalan-kejanggalan di insiden Cikeusik itu, tetapi sangat aneh ketika mereka berusaha menggiring kacamata publik ke satu kelompok ormas tertentu dan menimpakan kesalahan pada ormas tersebut. Padahal belum ada fakta atau bukti yang menguatkan, bahkan mungkin memang tidak ada. Sebelas-dua belas dengan pemberitaan di metromini tivi, yang bahkan anchor-nya menyebut insiden Cikeusik sebagai PEMBANTAIAN. Wah, ini sih namanya lebai akut bin kronis! Wajar aja sih, masalah-masalah penyimpangan aqidah muslim ini memang menjadi sasaran empuk bagi kaum sekuler dan liberal dengan memanfaatkan media untuk menggiring opini publik. Salah satunya ya, stasiun tivi yang nggak pernah absen mencari celah kesalahan para muslim yang beramar ma’ruf nahi mungkar. Terlalu banyak kalau harus dibeberkan satu persatu, saya kira masyarakat sekarang cukup cerdas untuk menilai kredibel atau tidakkah media tersebut. dan mengarahkan opini publik ke jalan yang

Dan tumben-tumbennya pagi ini tivi OON mengundang narsum (narasumber) yang “bener”. Biasanya ini tivi paling seneng kalo mengundang narsum yang nggak kompeten di bidangnya dan nggak kompeten di topik yang sedang dibahas. Lebih nggak logis lagi, ini Tivi juga suka mengundang ustadz jadi-jadian kayak tempo hari. Saya aja heran, emangnya ini tivi nggak takut kena “kutukan” apa?? Apa mereka nggak ingat dengan kasus “MARKUS” yang sudah mencoreng kredibilitas mereka sebagai News Television?? Oh my …

Nah karena narsum tadi pagi itu ada yang “bener”, makanya saya tertarik buat nonton. Tadi itu narsumnya 3 orang. Satu dari kepolisian (intelijen ato apa saya kurang paham), satu dari komnas HAM, dan satu lagi dari TPM (pak Mahendradatta). Dan seperti biasa, kedua anchor/ presenternya mengarahkan opini publik tentang insiden Cikeusik kemarin dengan mengajukan pertanyaan yang menyudutkan masyarakat muslim. Kelihatan banget itu anchor-anchor pengen ngomong “ini lhoooo, yang salah itu ya masyarakat non-ahmadiyah… titik!”. Gila aja tuh anchor, ngomong nggak pake logika dan fakta di lapangan. Prinsipnya, attack, attack dan attack! Untungnya, yang diundang sebagai narsum itu pak Mahendradatta (yang saya tahu betul kredibilitas beliau) yang akhirnya membeberkan banyak fakta di lapangan. Bahkan beliau sampe bilang “ahmadiyah itu sesat”, yang kalo saya lihat masih banyak itu para tokoh muslim/ ulama yang ragu-ragu dan nggak berani ngomong sesat-nya ahmadiyah di media padahal jelas-jelas kesesatannya. Wow? Hidup TPM! Hidup Pak Mahendradatta! ^^b

Saya seneng banget lihat diskusinya tadi pagi. Bersyukur banget, lihat pak Mahendradatta tampil di tivi OON dan akhirnya membeberkan semua fakta di lapangan (meskipun belum semuanya) yang mungkin selama ini tidak terekspose oleh media. Dan tahu nggak yang bikin ngakak? Semua statemen yang dikeluarkan oleh beliau membuat narsum lain wabilkhusus kedua anchor Tivi OON pada speechless (padahal biasanya kedua anchor ini terkenal paling suka memojokkan narsum hahaha), bingung mau meng-counterAnchor yang cowok aja diem, biasanya cerewetnya minta ampun dan suka memotong pembicaraan. Anchor yang cewek berkali-kali berusaha membelokkan, tapi yang keluar akhirnya cuma angguk-anggukan kepala. Hahahahhahahahahhahahah, beneran membuat saya terpingkal-pingkal. Sampai butuh banyak jeda iklan untuk menghentikan komentar beliau sebagai narsum. pernyataan beliau dengan apa.

Wakakakkakakakakak, saya puaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssssssss banget ngelihatnya.

Paling nggak, masyarakat bisa menilai dengan lebih jernih permasalahan yang sebenarnya. Bukan hanya melihat akibat yang timbul, tapi juga SEBAB dari masalah tersebut, akarefek domino. Soalnya, selama ini kita seringkali melihat sebuah permasalahan hanya dari akibat yang muncul saja. Dan lebih parahnya lagi, suara mayoritas seringkali dijadikan patokan mutlak. Padahal suara mayoritas tidak selalu benar. Masyarakat kita kurang kritis tentang nilai mayoritas. Senang menjadi pengikut, ketika banyak yang memilih A maka kita akan memilih A dan menjadikan A sebagai patokan yang paling benar dan bernilai mutlak. Padahal dalam hal mayoritas dan minoritas berlaku hukum relativitas. Nggak semua yang BANYAK itu pasti BENAR, atau nggak semua yang SEDIKIT itu pasti SALAH. Nggak ada teorinya kalau benar-salah masalah tersebut yang kemudian memberi atau baik-buruk itu berbanding lurus dengan banyak-sedikit.

Nah, masyarakat harus lebih cerdas menerima info yang masuk. Apalagi dari media cetak dan elektronik. Masyarakat begitu mudah digiring opininya dengan pemberitaan berlebihan dan tidak relevan hingga lupa akar masalah yang sebenarnya. Dan mau nggak mau, harus kita akui bahwa media SANGAT SANGAT SANGAT berpengaruh terhadap kekuasaan. Bukan cuma pundit-pundi uang, tetapi juga KEKUASAAN. Faktanya, hampir tidak adaYang ada justru pemberitaan berlebihan, pengalihan opini bahkan pemutarbalikkan fakta! media (khususnya elektronik) yang benar-benar berani menyuarakan kebenaran.

Untuk insiden Cikeusik ini, saya pribadi pun tak pernah sepakat dengan yang namanya jalan kekerasan. Tapi bagi saya, tidak ada kompromi untuk aqidah! TIDAK ADA TAWAR-MENAWAR DALAM AQIDAH!

Well, ini Indonesia kawan! Jangan mau dibodohi oleh media!

Selepas dhuhur, 14/02/2011 01:40 PM

No comments:

Post a Comment

berkomentarlah yang baik dan sopan, terima kasih.