Sunday, March 20, 2011

Belajar Arif Dari Hal Sepele & Orang Terpinggirkan

Saya sering merasa kasihan ketika melihat orang yang terganggu jiwanya berkeliaran di jalan, mengais tong sampah, mencari sisa-sisa nasi yang sudah tak layak untuk dimakan. Saya suka menangis kalau melihat orang seperti itu ditendang-tendang, dikeroyok manusia yang merasa dirinya “waras”. Betapa tak adilnya, ketika mereka dipukuli dan dikeroyok hanya karena mereka dianggap “gila”. Apa yang salah dengan mereka? Toh mereka tak mengganggu, tak menyakiti.

Sekali dua kali saya pernah melihat seorang perempuan yang terganggu jiwanya dengan pakaian lusuh dan tatapan mata kosong berjalan di pinggiran salah satu swalayan di samping Masjid Agung Purworejo. Lalu seorang tukang parkir membentaknya, menyuruhnya pergi. Kemudian menarik-narik lengan perempuan itu, menendangnya. Manusia macam apa itu? Tak punya rasa kasihan, nggak waras!

Ketika saya membuka-buka lembaran Tarbawi, tak sengaja saya menemukan kisah seorang kakek yang begitu perhatian terhadap orang-orang yang terganggu jiwanya. Dan kalau tidak salah, dulu kakek ini pernah muncul di program Kick Andy. Membaca kisah dan semangatnya, membuat saya malu. Malu karena begitu banyak lingkaran-lingkaran kebaikan dari hal sepele yang ada di depan saya, yang tak juga saya sadari.

Gendu Mulatif, seorang kakek berusia 89 tahun, yang sejak 23 tahun silam berkutat dalam upaya menyembuhkan orang-orang yang terganggu ingatannya. Mereka dicarinya di berbagai tempat. Di pasar, di emperan jalan, saat tengah mengais tong sampah, saat tengah keluar masuk kampung, bahkan ketika para manusia malang itu terancam dikeroyok warga. Mereka terkucil. Terpinggirkan. Mereka dibawanya pulang, dan berusaha disembuhkan.

Awalnya mereka ditampung dalam rumahnya yang sederhana di Poncol, Bekasi Timur. Namun akhirnya ia dan para “pasiennya” harus pindah ke tempat yang lebih luas, yang tak begitu jauh dari lokasi pertama, karena “pasiennya” terus bertambah. Baba Gendu, demikian kakek itu biasa disapa, sejak awal mengeluarkan dana pribadi untuk membiayai kegiatan itu. Baru beberapa tahun lalu pemerintah memberikan bantuan, itu pun tidak rutin.

Sewaktu ditanyakan apa yang ia dapatkan dari upaya luar biasa itu, Baba Gendu menjawab, “Justru saya yang mendapat banyak hikmah. Tentang betapa berharganya akal, tentang betapa berharganya rasa malu yang dikaruniai Alloh. Juga tentang bagaimana pun terganggunya, mereka tetap manusia, yang perlu perhatian, sama seperti orang normal. Kalau kita baik dan ikhlas, mereka juga tahu.”

Baba Gendu berulangkali mengatakan bahwa ketika berinteraksi dengan mereka, ia kadang menangis, karena merasa mereka jauh lebih besar kemungkinannya masuk surga dibanding dirinya. “Karena mereka sudah tidak lagi menanggung dosa, sayalah yang berharap bisa “nebeng” mereka nanti di akhirat, ke dalam ampunan Alloh. Dengan berusaha merawat mereka.”

Pernahkah terpikir oleh kita untuk berupaya membangun kebaikan dalam pola-pola itu? Meski tidak sama persis. Namun, dengan sedikit meluangkan waktu untuk mendengar orang terpinggirkan, yang miskin, yang menjadi korban fitnah, yang sakit, yang terasing karena bodoh dan tak mampu sekolah dan sederet lainnya.

Bagaimana kita bisa belajar dari daya tahan mereka? Dari kearifan mereka menyikapi hidup?

Di depan kita, sebenarnya amat banyak sesuatu yang sepele yang ternyata bisa membawa kita pada kebaikan. Kesadaran yang terbangun dari senyum orang miskin dan terpinggirkan. Orang-orang dan segala hal yang biasanya kita anggap sepele, kerap menyimpan kearifannya sendiri. Punya warna cemerlangnya sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah berenang dan menyelaminya. Yang perlu kita lakukan adalah belajar dan berbagi.*

(*disarikan dari Tarbawi edisi 119 November 2005)

“Takwa adalah berhenti pada batas larangan, tidak suka menyepelekan sesuatu dan tidak melampaui batas.” (Sa’id bin Salam Al Maghribi)

No comments:

Post a Comment

berkomentarlah yang baik dan sopan, terima kasih.